Di teras rumah sederhana itu, berdiri sebuah rak kayu bekas yang menampung puluhan buku donasi. Anak-anak duduk lesehan, sebagian tenggelam dalam bacaan, sebagian berceloteh riang dengan temannya, sementara yang lain asyik bermain di sudut ruangan. Di antara keriuhan itu, seorang pengelola TBM tersenyum tipis. Ia bukan penulis, bukan pula pustakawan. Ia hanyalah warga biasa yang dengan tulus merelakan rumahnya berubah menjadi simpul literasi, ruang kecil di mana masyarakat bisa menjangkau buku.

Beginilah wajah Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Ia lahir dari pengorbanan yang jarang terlihat. Ruang pribadi yang rela dibuka untuk umum, waktu keluarga yang tergantikan oleh kegiatan bersama anak-anak, hingga keresahan yang tak pernah reda tentang bagaimana TBM bisa terus bertahan dengan program -program kreatif walaupun dengan merogoh kocek dari kantong sendiri. Semua itu bukan karena kewajiban, melainkan karena cinta yang mendalam pada gerakan literasi.
Namun, di balik ketulusan itu, ada beban yang sering menghampiri para pegiat TBM. Mereka kerap dituding hanya sebagai “pengantar buku” yang dianggap tak memiliki kompetensi menulis. Lebih menyakitkan lagi, penilaian itu datang dari mereka yang tak pernah hadir di ruang-ruang kecil TBM, Mereka menilai dari kejauhan, tanpa melihat langsung bagaimana denyut literasi hidup di bilik-bilik kecil, di mana peristiwa demi peristiwa literasi terjadi.
Bagi banyak pengelola TBM, menulis sebenarnya adalah cita-cita yang bersemayam di hati. Mereka tahu, kedekatan dengan buku seharusnya melahirkan kemampuan merangkai kata. Namun, keinginan itu sering kandas, terbentur kesibukan, terhimpit waktu, atau mungkin memang tak bersua dengan minat yang cukup kuat.
Meski demikian, menulis bagi mereka bukan kewajiban. Ia adalah kesempatan, ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin berbagi kisah, mendokumentasikan jejak, atau menyalakan inspirasi. Ada yang menuangkan catatan sederhana tentang kegiatan di TBM, ada yang menulis singkat di media sosial, ada pula yang memilih mendongeng, berdiskusi, atau sekadar menemani anak-anak membaca tanpa menulis sebaris kata pun.
Pada akhirnya, setiap orang memiliki perannya masing-masing. Tidak semua ditakdirkan menjadi penulis, namun setiap individu bisa mengambil bagian dalam gerakan literasi dengan caranya sendiri. Bagi pegiat TBM, peran itu nyata dalam kesetiaan membuka ruang baca, menemani anak-anak, dan menyalakan cinta pada buku.
Mereka mungkin tidak menulis di atas kertas, tetapi mereka menulis di dalam kehidupan, menorehkan cerita lewat tawa dan mata berbinar anak-anak yang menemukan dunia baru dalam buku. Sebab literasi bukan hanya soal menulis atau membaca, melainkan soal kehadiran orang-orang yang setia menjaga api pengetahuan tetap menyala. Dan di titik itulah, pegiat TBM menunaikan peran paling mulia: menjadi penanam benih minat baca bagi masa depan bangsa.
Ditulis oleh Hasan Achari Hrp (Ketua Forum TBM Sumbar)