Ketika Semangat Mengalahkan Jarak

Ini bukan tulisan motivasi. Bukan pula kisah dongeng yang sarat keajaiban. Ini adalah cerita tentang rasa—perasaan yang tumbuh dari apa yang dilihat, didengar, dan dialami secara nyata.

Jarak Darmasraya-Padang Via Google Map

Perjalanan dari Kabupaten Dharmasraya menuju Padang sejauh 214 kilometer membutuhkan waktu tempuh sekitar lima hingga enam jam. Jika ada kegiatan yang dimulai pukul 08.00 pagi, pilihan yang tersedia hanya dua: berangkat malam hari dan tiba di Padang sekitar pukul tiga atau empat pagi, atau berangkat sehari sebelumnya dan bermalam di rumah teman atau kerabat, jika ada yang bisa ditumpangi.

Begitulah realitas yang dihadapi oleh para pegiat Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dari Dharmasraya ketika hendak mengikuti kegiatan literasi di Padang. Jaraknya tak jauh beda dengan rute Bukittinggi–Pekanbaru, jauh, melelahkan, dan tidak murah.

Pada 3 Juni 2025, Dinas Kearsipan dan Perpustakaan (DKP) Provinsi Sumatera Barat menggelar Bimbingan Teknis Literasi Informasi. Kegiatan berlangsung sehari penuh, tanpa fasilitas penginapan. Peserta hanya memperoleh pengganti transportasi lokal dan uang harian yang jika dibandingkan dengan biaya perjalanan dari luar Kota Padang, jelas jauh dari cukup.

Namun kenyataan di lapangan sungguh melampaui ekspektasi.

Forum TBM Sumbar yang dipercaya untuk mengundang pegiat TBM dari berbagai kabupaten terutama dari daerah yang tahun ini tidak mendapatkan alokasi DAK Nonfisik—menyambut undangan dengan penuh semangat. Para pegiat datang bukan karena iming-iming materi, tetapi karena cinta dan tanggung jawab terhadap gerakan literasi. Mereka hadir dengan wajah cerah, membawa semangat yang tak bisa dihitung dalam satuan angka. Semangat yang tak bisa dibeli.

Lihatlah bagaimana Mbak Sri Handayani dari TBM Handayani dan Ahmad Taufik dari Pustaka Rumah Madja, Dharmasraya, menjalani perjalanannya.

“Berangkat dari Dharmasraya kemarin, nginap dulu di masjid di Solok. Paginya langsung lanjut ke Padang,” ujar Ahmad saat ditanya tentang perjalanannya.

Sementara Mbak Sri memilih menggunakan travel, tentu dengan biaya yang lebih besar. Tapi itu tak jadi soal, karena tujuan mereka bukan semata-mata mengikuti pelatihan, melainkan merawat jalinan gerakan literasi yang telah mereka bangun selama ini.

Cerita-cerita seperti ini bukan hal baru. Perjalanan jauh, biaya yang tidak murah, dan segala keterbatasan sudah menjadi bagian dari keseharian pegiat TBM yang mengikuti kegiatan di Padang. Tapi satu hal yang pasti: semangat mereka tidak pernah padam. Mereka hadir bukan untuk mencari untung, melainkan untuk bertemu kawan seperjuangan, melepas rindu, bertukar cerita, dan tentu saja menimba ilmu.

Salam literasi!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *