TBM: Mengoleksi Peristiwa atau Menghasilkan Karya?

Pandangan negatif masih kerap dialamatkan kepada para pegiat literasi yang mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Ada yang menuding mereka hanya sekumpulan orang yang sibuk membawa buku tetapi jarang membaca, ada pula yang mempertanyakan: apakah sudah ada karya nyata, seperti buku, yang lahir dari gerakan TBM yang dilakukan?

Cibiran itu memang tak pernah benar-benar hilang. Namun, para pegiat TBM memilih untuk tetap bergerak, tanpa menghiraukan tuduhan yang tidak berdasar tersebut. Mereka terus hadir di tengah masyarakat dengan semangat berbagi bacaan, membuka akses, dan menumbuhkan minat baca.

Suasa Lapak Baca di Salah Satu TBM

Sebagai seorang pegiat TBM sekaligus pengurus Wilayah Forum TBM, saya mencoba melihat fenomena ini dari sudut pandang yang lebih objektif. Jika ada yang mengatakan gerakan TBM masih terlihat monoton, barangkali ada benarnya. Banyak TBM masih berkutat pada program layanan membaca di lokasi masing-masing, menggelar lapak baca di ruang publik, diskusi buku atau mengadakan kegiatan membaca nyaring. Aktivitas ini memang penting, tetapi sering kali terjebak dalam pola yang berulang dan kurang memberi ruang bagi lahirnya karya baru.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah TBM hanya akan berhenti pada sebatas mengoleksi peristiwa kegiatan, atau mampu melangkah lebih jauh untuk menghasilkan karya? Karya yang lahir dari pengalaman nyata, dari interaksi dengan masyarakat, atau dari refleksi panjang atas perjalanan literasi di akar rumput. Di titik inilah gerakan TBM perlu berani mengambil langkah strategis. Membaca bersama masyarakat tetap penting, tetapi harus diiringi dengan penciptaan karya: menulis buku, menghasilkan riset sederhana, mendokumentasikan cerita rakyat, atau menyusun modul literasi yang bisa diwariskan bagi generasi berikutnya. Dengan begitu, TBM tidak hanya menjadi ruang aktivitas, tetapi juga pusat produksi pengetahuan.

Pelatihan Penulis yang dilakukan oleh Forum TBM Sumbar

Jika selama ini TBM lebih banyak dikenal sebagai ruang aktivitas membaca, sudah saatnya peran itu diperluas menjadi ruang produksi pengetahuan. TBM tidak cukup hanya mencatat peristiwa kegiatan; ia harus mampu melahirkan karya yang merekam, menafsirkan, sekaligus memperkaya pengalaman literasi masyarakat. Karya menjadi bukti konkret bahwa gerakan literasi bukan sekadar aktivitas sesaat, melainkan proses panjang yang berbuah produk nyata. Buku, antologi cerita, modul literasi, hasil penelitian sederhana, atau dokumentasi budaya lokal adalah bentuk jejak yang bisa wariskan lintas generasi.

Dengan strategi ini, TBM dapat melampaui stigma bahwa ia hanya sekadar ruang membaca. Ia akan dikenal sebagai rumah penghasil karya, tempat di mana ide tumbuh, pengalaman ditafsirkan, dan pengetahuan diwariskan. Pada akhirnya, keberhasilan TBM tidak hanya diukur dari seberapa sering ia menggelar kegiatan, tetapi juga dari seberapa banyak karya yang mampu ditinggalkan sebagai jejak. Karya itu akan menjadi saksi bahwa gerakan literasi di akar rumput benar-benar hidup, berkembang, dan memberi arti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *